GABUNGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Tulisan ini saya buat untuk mempermudah dalam membandingkan perubahan pada undang-undang peraturan (UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA) yang telah dilakukan sebanyak dua kali. Disertai penjelasan langsung di bawah masing-masing pasal, semoga bisa membantu teman-teman sekalian. silahkan komen email di kolom komentar buat teman-teman yang ingin dikirimkan file word yang rapi.. hehehe .. good luck
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
9 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(PERUBAHAN 1)
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
51 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN
KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
(PERUBAHAN 2)
PERUBAHAN
2
Ketentuan
Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Pengadilan
adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara di
lingkungan peradilan tata usaha negara.
2.
Hakim
adalah hakim pada pengadilan tata usaha negara dan hakim pada pengadilan tinggi
tata usaha negara.
3.
Mahkamah
Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4.
Komisi
Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5.
Pengadilan
Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu
lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur
dalam undang-undang.
6.
Hakim
ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan
pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.
7.
Tata
Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
8.
Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9.
Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
10.
Sengketa
Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
11.
Gugatan
adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha
negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
12.
Tergugat
adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 2
Tidak
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang
ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata;
b. Keputusan Tata Usaha
Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.
PENJELASAN :
Pasal ini mengatur pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi mengadili dari Peradilan
Tata Usaha Negara. Pembatasan ini diadakan oleh karena ada beberapa jenis
Keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini.
·
Huruf a
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata, misalnya keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan
antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan
hukum perdata.
·
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengaturan yang bersifat umum” adalah
pengaturan yang memuat normanorma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan
yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
·
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Keputusan Tata Usaha Negara yang masih
memerlukan persetujuan” adalah keputusan untuk dapat berlaku masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain. Dalam kerangka pengawasan
adminstratif yang bersifat preventif dan keseragaman kebijaksanaan seringkali peraturan
yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata
Usaha Negara diperlukan persetujuan instansi atasan terlebih dahulu. Adakalanya
peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan
karena instansi lain tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan
ditimbulkan oleh keputusan itu. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan
akan tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.
·
Huruf d
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya dalam perkara lalu lintas, dimana terdakwa
dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang mewajibkannya memikul biaya
perawatan si korban selama dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu
merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka Jaksa yang menurut
Pasal 14 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi dipenuhi atau
tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan perintah
kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti pembayaran biaya perawatan
tersebut kepadanya.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan
Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana misalnya kalau Penuntut Umum
mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap tersangka. Keputusan Tata Usaha
Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana ialah umpamanya perintah jaksa untuk melakukan penyitaan barang-barang
terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi.
Penilaian dari segi penerapan hukumnya
terhadap ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan
hanya oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
·
Huruf e
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini
umpamanya:
1. Keputusan Badan Pertanahan Nasional yang mengeluarkan sertifikat
tanah atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan pengadilan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang menjelaskan bahwa
tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan tidak berstatus tanah
warisan yang diperebutkan oleh para pihak
2.
Keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan
atas amar putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
3.
Keputusan pemecatan seorang notaris oleh
Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi jabatan notaris, setelah
menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya menurut
ketentuan Undang-Undang Peradilan Umum.
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
Peradilan
Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
PENJELASAN
:
Yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan” adalah setiap
orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing, dan badan hukum perdata
yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara. Angka 3
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 6
1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota
Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.
2) Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara berkedudukan di ibukota Provinsi, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Provinsi.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara
berada di ibukota Kabupaten/Kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah
Kabupaten/Kota, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 7
1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan
finansial Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2) Pembinaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutus sengketa Tata Usaha Negara.
Ketentuan Pasal 9 substansi tetap,
penjelasan pasal dihapus sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal demi Pasal angka 5.
Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan
satu pasal baru yakni Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9A
Di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan
undangundang.
PENJELASAN :
Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah deferensiasi atau
spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan
pajak.
Ayat
(1)
Pengadilan
khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata
usaha negara, misalnya pengadilan pajak.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 9A diubah sehingga Pasal 9A berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 9A
1) Di
lingkungan peradilan tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang
diatur dengan undang-undang.
2) Pada
pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad
hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan
dalam jangka waktu tertentu.
3) Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian serta tunjangan
hakim ad hoc diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 12
1) Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan
kehakiman.
2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, serta
pelaksanaan tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 13
1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh
Ketua Mahkamah Agung.
2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa
Tata Usaha Negara.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “pengawasan umum” adalah meliputi pengawasan melekat (built-in
control) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Ayat
(1)
“Pengawasan
internal” atas tingkah laku hakim agung diperlukan meskipun sudah ada
pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan
agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran
martabat,
serta
perilaku hakim benar-benar terjaga.
Pasal
13F
Yang
dimaksud dengan “mutasi” dalam ketentuan ini meliputi promosi dan demosi.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 14
1) Untuk dapat diangkat sebagai calon Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. sarjana hukum;
e. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h. bukan bekas anggota
organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya,
atau bukan orang yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia.
2) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim, harus pegawai negeri yang
berasal dari calon hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Untuk dapat diangkat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara.
PERUBAHAN 2
Di antara Pasal 13 dan
Pasal 14 disisipkan 6 (enam) pasal yakni Pasal 13A, Pasal 13B, Pasal 13C, Pasal
13D, Pasal 13E, dan Pasal 13F yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 13A
1) Pengawasan
internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2) Selain
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas
perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Pasal 13B
1) Hakim
harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil,
profesional, bertakwa dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum.
2) Hakim
wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 13C
1) Dalam
melakukan pengawasan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A ayat (2),
Komisi Yudisial melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung.
2) Dalam
hal terdapat perbedaan antara hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial,
pemeriksaan bersama dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Pasal 13D
1. Dalam
melaksanakan pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A ayat
(2), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
2.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Komisi Yudisial berwenang:
a. menerima
dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
b. memeriksa
dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
c. dapat
menghadiri persidangan di pengadilan;
d. menerima
dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
e.
melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf d;
f. meminta
keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau pengadilan;
g. melakukan
pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim untuk kepentingan pemeriksaan; dan/atau
h. menetapkan
keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Pasal 13E
1) Dalam
melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, Komisi Yudisial
dan/atau Mahkamah Agung wajib:
a.
menaati norma dan peraturan
perundangundangan;
b.
menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim; dan
c.
menjaga kerahasiaan keterangan atau
informasi yang diperoleh.
2) Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
3) Pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
4) Ketentuan
mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan internal hakim diatur dalam
undangundang.
Pasal 13F
Dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
1) Untuk
dapat diangkat sebagai hakim pengadilan tata usaha negara, seseorang harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
warga negara Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. sarjana
hukum;
e. lulus
pendidikan hakim;
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan
tidak tercela
g.
berusia paling rendah 25 (dua puluh lima)
tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun;
h.
mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan
tugas dan kewajiban; dan
i.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara
karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
2) Untuk
dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan tata usaha negara
hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun sebagai hakim
pengadilan tata usaha negara.
Di antara Pasal 14 dan
Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14A
1) Pengangkatan
hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan melalui proses seleksi yang
transparan, akuntabel, dan partisipatif.
2) Proses
seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Huruf
e
Pendidikan
hakim diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Agung dan Perguruan Tinggi Negeri
atau Swasta yang terakreditasi A dalam jangka waktu yang ditentukan dan melalui
proses seleksi yang ketat.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 15
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang Hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf h;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;berpengalaman
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua, Wakil Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara, atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara;
c. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2)
Untuk dapat diangkat menjadi Ketua
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara harus berpengalaman sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau 3 (tiga)
tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah menjabat Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara.
3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara harus berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tinggi TataUsaha Negara atau 2 (dua) tahun bagi Hakim
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara.
PENJELASAN:
Huruf
d
Yang dimaksud dengan “lulus eksaminasi” dalam ketentuan ini adalah
penilaian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan yang dijatuhkan
oleh hakim yang bersangkutan.
PERUBAHAN 2
Pasal 15
1) Untuk
dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi tata usaha negara, seorang hakim
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, huruf f, huruf g, dan huruf h.
b.
berumur paling rendah 40 (empat puluh)
tahun;
c. berpengalaman
paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua pengadilan tata usaha negara,
atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan tata usaha negara
d. lulus
eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan
e. tidak
pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran
Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim.
2)
Untuk dapat diangkat menjadi ketua
pengadilan tinggi tata usaha negara harus berpengalaman paling singkat 5 (lima)
tahun sebagai hakim pengadilan tinggi tata usaha negara atau 3 (tiga) tahun
bagi hakim pengadilan tinggi tata usaha negara yang pernah menjabat ketua
pengadilan tata usaha negara.
3) Untuk
dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi tata usaha negara harus berpengalaman
paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi tata usaha
negara atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan tinggi tata usaha negara yang
pernah menjabat ketua pengadilan tata usaha negara.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 16
1) Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas
usul Ketua Mahkamah Agung.
2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Ketua Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) diubah dan di
antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b)
sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
PERUBAHAN 2
Pasal 16
1) Hakim
pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(1a) Hakim pengadilan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua
Mahkamah Agung.
(1b) Usul pemberhentian hakim yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat(1a) hanya dapat
dilakukan apabila hakim yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
2) Ketua
dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah
Agung.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 17
1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
2)
Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berbunyi sebagai berikut : Sumpah : “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim
dengan sebaikbaiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
Janji : "Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban
Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan seluruslurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
3)
Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
4)
Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara serta Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara diambil sumpah atau
janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
5) Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diambil sumpah atau
janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 18
1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang,
Hakim tidak boleh merangkap menjadi:
a. pelaksana putusan pengadilan;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya
c. pengusaha.
2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi advokat.
3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 19
1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
c. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua,
dan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan yang meninggal dunia
dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
·
Huruf a
Pemberhentian dengan hormat Hakim Pengadilan atas permintaan
sendiri mencakup pengertian pengunduran diri dengan alasan Hakim yang
bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan rumah tangganya
sendiri. Pada hakekatnya situasi, kondisi, suasana, dan keteraturan hidup rumah
tangga setiap Hakim Pengadilan merupakan salah satu faktor yang penting
peranannya dalam usaha membantu meningkatkan citra dan wibawa seorang Hakim.
·
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sakit jasmani atau rohani terus menerus”
adalah sakit yang menyebabkan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi
melakukan tugas kewajibannya dengan baik.
·
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tidak cakap” adalah misalnya yang
bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 19 ayat (1) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 19
1) Ketua,
wakil ketua, dan hakim pengadilandiberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a.
atas permintaan sendiri secara tertulis;
b.
sakit jasmani atau rohani secara terus
menerus;
c. telah
berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim
pengadilan tata usaha negara, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil
ketua, dan hakim pengadilan tinggi tata usaha negara; dan/atau
d.
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
2) Ketua,
wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 20
1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18.
2)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan
hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya
untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
3) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis
Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri diatur lebih lanjut oleh Ketua
Mahkamah Agung.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
·
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan” adalah tindak
pidana yang ancaman pidananyapaling singkat 1 (satu) tahun.
·
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah apabila hakim yang
bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di
luar pengadilan merendahkan martabat hakim.
·
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “tugas pekerjaannya” adalah semua tugas yang dibebankan kepada
yang
bersangkutan.
Ayat
(2)
Dalam
hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana karena melakukan
tindak pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk
membela diri.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
1) Ketua,
wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan:
a.
dipidana penjara karena melakukan
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap;
b.
melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga)
bulan;
d.
melanggar sumpah atau janji jabatan;
e.
melanggar larangan sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 18; dan/atau
f.
melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
2)
Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.
3)
Usul pemberhentian dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung
dan/atau Komisi Yudisial.
4)
Usul pemberhentian dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh
Mahkamah Agung.
5)
Usul pemberhentian dengan alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial.
6)
Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi
Yudisial mengajukan usul pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
7) Majelis
Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
PENJELASAN :
Ayat
(7)
Yang
dimaksud “dengan peraturan perundangundangan” adalah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah
Agung.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 21
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan
sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 21
Dalam
hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena atas permintaan sendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) huruf a, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai hakim.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 22
1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
PENJELASAN :
Ayat
(3)
Pemberhentian sementara dalam ketentuan ini terhitung sejak
tanggal ditetapkan keputusanM pemberhentian sementara.
PERUBAHAN 2
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 22 disisipkan 1 (satu) ayat,
yakni ayat (1a) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
1) Ketua,
wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf
e, dan huruf f, dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua
Mahkamah Agung.
(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.
2) Terhadap
pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
3) Pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam)
bulan.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “diberhentikan sementara” dalam ketentuan ini adalah sanksi
yang dikenakan kepada seorang hakim untuk tidak memeriksa dan mengadili perkara
dalam jangka waktu tertentu selain pemberhentian sementara yang dimaksud dalam Undang-Undang
Kepegawaian.
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 25
1) Kedudukan
protokol hakim pengadilan diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
2) Selain
mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok,
tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak lainnya.
3) Tunjangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a.
tunjangan jabatan; dan
b.
tunjangan lain berdasarkan peraturan
perundangundangan.
4) Hak-hak
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a.
rumah jabatan milik negara;
b.
jaminan kesehatan; dan
c.
sarana transportasi milik negara.
5) Hakim
pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.
6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan
keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
PENJELASAN :
Ayat
(4)
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “sarana transportasi” adalah kendaraan yang dapat berupa
kendaraan bermotor ataupun bentuk lainnya yang digunakan untuk menunjang
tugas-tugas hakim.
Ayat
(5)
Yang
dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah hakim
diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim
harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait yakni aparat
kepolisian agar hakim mampu memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara
baik dan benar tanpa adanya tekananatau intervensi dari pihak manapun.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 26
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan dapat ditangkap atau
ditahan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah
Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
b. disangka telah melakukan
tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati; atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 28
Untuk
dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Wakil
Panitera, 5 (lima) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tata Usaha Negara,
atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; dan
f. sehat jasmani dan rohani.
PENJELASAN:
Huruf
d
Yang dimaksud dengan “sarjana muda hukum” termasuk mereka yang
telah mencapai tingkat pendidikan hukum sederajat dengan sarjana muda dan
dianggap cakap untuk jabatan itu.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 28
Untuk
dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tata usaha negara, seorang calon
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga
negara Indonesia;
b. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah
sarjana hukum;
e. berpengalaman
paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai
panitera muda pengadilan tata usaha negara, atau menjabat sebagai wakil
panitera pengadilan tinggi tata usaha negara; dan
f. mampu
secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf f;
b.
berijazah sarjana hukum; dan
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Wakil
Panitera, 5 (lima) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, atau 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 29 huruf b dihapus sehingga Pasal 29 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 29
Untuk
dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi tata usaha negara, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf f;
b.
dihapus;
c. berpengalaman
paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai
panitera muda pengadilan tinggi tata usaha negara, atau 3 (tiga) tahun sebagai
panitera pengadilan tata usaha negara.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 30
diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tata
Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Muda atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha
Negara.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30
Untuk
dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tata usaha negara, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf f; dan
b. berpengalaman
paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda atau 4 (empat) tahun
sebagai panitera pengganti pengadilan tata usaha negara.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf f;
b.
berijazah sarjana hukum; dan
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera
Muda, 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara, 3 (tiga) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara,
atau menjabat sebagai Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 31 huruf b dihapus sehingga Pasal 31 berbunyi
sebagai berikut:
Untuk
dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi tata usaha negara,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf f;
b. dihapus;
c. berpengalaman
paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai
panitera pengganti pengadilan tinggi pengadilan tata usaha negara, 3 (tiga)
tahun sebagai wakil panitera pengadilan tata usaha negara, atau menjabat
sebagai panitera pengadilan tata usaha negara.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tata Usaha
Negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
Untuk
dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tata usaha negara, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf f; dan
b. berpengalaman
paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tata usaha
negara
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Muda, 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara,
atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33
Untuk
dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi tata usaha negara,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf f; dan
b. berpengalaman
paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi tata
usaha negara, 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai
panitera pengganti pengadilan tata usaha negara, atau menjabat sebagai wakil
panitera pengadilan tata usaha negara.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata
Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 34
Untuk
dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tata usaha negara, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf f; dan
b. berpengalaman
paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tata usaha
negara.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 35
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara atau 8 (delapan) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 35
Untuk
dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf f; dan
b. berpengalaman
paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tata usaha
negara atau 8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tinggi
tata usaha negara.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 36
1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang,
Panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.
2)
Panitera tidak boleh merangkap menjadi
advokat.
3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh
Mahkamah Agung.
PENJELASAN :
Ketentuan
ini berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
PERUBAHAN 2
Pasal 36
Panitera
tidak boleh merangkap menjadi:
a. wali;
b. pengampu;
c. advokat;
dan/atau
d. pejabat
peradilan lainnya.
PENJELASAN :
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “pejabat peradilan lainnya” adalah sekretaris pengadilan, wakil
sekretaris pengadilan, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, juru
sita, juru sita pengganti, dan pejabat struktural lainnya.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 37
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan diangkat dan
diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah
Agung.
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 38
1) Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpah atau janji menurut agama nya oleh
Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut : “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk memperoleh jabatan ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan
nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu
kepada siapapun juga.” “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.” “Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan”.
Di antara Pasal 39
dan Bagian Ketiga Sekretaris disisipkan Bagian Kedua baru yakni Bagian Kedua A Jurusita
yang berisi 5 (lima) pasal yakni Pasal 39A, Pasal 39B, Pasal 39C, Pasal 39D,
dan Pasal 39E sehingga berbunyi sebagai berikut:
Bagian Kedua A
Jurusita
Pasal 39A
Pada setiap Pengadilan Tata Usaha Negara ditetapkan adanya
Jurusita.
PENJELASAN :
Dalam hal tenaga Jurusita di Pengadilan Tata Usaha Negara kurang
memadai, maka pelaksanaan tugas Jurusita dibantu oleh Panitera Pengganti.
Pasal 39B
1) Untuk dapat diangkat menjadi Jurusita, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. ---------------
d. setia kepada Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Jurusita
Pengganti; dan
g. sehat jasmani dan rohani.
2)
Untuk dapat diangkat menjadi Jurusita
Pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 39C
1) Jurusita Pengadilan Tata Usaha Negara diangkat dan diberhentikan
oleh Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
2) Jurusita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua
Pengadilan yang bersangkutan. Pasal 39D (1) Sebelum memangku jabatannya,
Jurusita atau Jurusita Pengganti wajib diambil sumpah atau janji menurut
agamanya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan. (2) Sumpah atau janji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga.” “Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.” “Saya bersumpah/berjanji
bahwa saya, akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan segala undang-undang serta peraturan
perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membedakan orang dan
akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, seperti layaknya bagi seorang Jurusita atau Jurusita Pengganti
yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 39E
1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang,
Jurusita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang
berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
2) Jurusita tidak boleh merangkap menjadi advokat.
3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Jurusita selain jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut oleh
Mahkamah Agung.
PERUBAHAN 2
Di antara Pasal 38 dan
Pasal 39 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 38A dan Pasal 38B, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 38A
Panitera,
wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha
negara diberhentikan dengan hormat dengan alasan:
a. meninggal
dunia;
b. atas
permintaan sendiri secara tertulis;
c. sakit
jasmani atau rohani secara terus menerus;
d.
telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi
panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata
usaha negara;
e.
telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun
bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan
tinggi tata usaha negara; dan/atau
f. ternyata
tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Pasal 38B
Panitera,
wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan
tidak dengan hormat dengan alasan:
a. dipidana
penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan
perbuatan tercela;
c. melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga)
bulan;
d. melanggar
sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36; dan/atau
f. melanggar
kode etik panitera.
Ketentuan Pasal 39B diubah sehingga Pasal 39B berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39B
1) Untuk
dapat diangkat menjadi juru sita, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a.
warga negara Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.
berijazah pendidikan menengah;
e.
berpengalaman paling singkat 3 (tiga)
tahun sebagai juru sita pengganti; dan
f.
mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan
tugas dan kewajiban.
2)
Untuk dapat diangkat menjadi juru sita
pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; dan
b. berpengalaman
paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tata usaha
negara.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “pendidikan menengah” adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK), atau bentuk pendidikan lain yang sederajat.
Ketentuan Pasal 41 dihapus
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 42
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tata
Usaha Negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda hukum atau sarjana
muda administrasi;
e. berpengalaman di bidang administrasi pengadilan; dan
f. sehat jasmani dan rohani.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 42 diubah
sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
Untuk
dapat diangkat menjadi wakil sekretaris pengadilan tata usaha negara, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga
negara Indonesia;
b. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. berijazah
sarjana hukum atau sarjana administrasi;
e. berpengalaman
paling singkat 2 (dua) tahun di bidang administrasi peradilan; dan
f. mampu
secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.
Ketentuan Pasal 43 diubah
sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43
Untuk
dapat diangkat menjadi wakil sekretaris pengadilan tinggi tata usaha negara,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf f; dan
b. berpengalaman
paling singkat 4 (empat) tahun di
c. bidang
administrasi peradilan.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 44
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan
diberhentikan oleh Mahkamah Agung.
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 45
1) Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris dan Wakil Sekretaris
diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh Ketua Pengadilan yang
bersangkutan.
2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi
sebagai berikut: “Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk diangkat menjadi Sekretaris/Wakil Sekretaris akan setia dan taat kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dan
pemerintah.” “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan menaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang
dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan
tanggungjawab.” “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan senantiasa menjunjung
tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat Sekretaris/Wakil Sekretaris,
serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan
sendiri, seseorang atau golongan.” “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan
memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau perintah harus saya
rahasiakan.” “Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan bekerja dengan jujur,
tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara.”
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 46
1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi
umum Pengadilan.
2) Ketentuan mengenai tugas serta tanggung jawab, susunan
organisasi, dan tata kerja Sekretariat diatur lebih lanjut dengan Keputusan
oleh Mahkamah Agung.
PERUBAHAN 2
Di antara Pasal 51 dan
Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 51A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51A
1) Pengadilan
wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.
2)
Pengadilan wajib menyampaikan salinan
putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja sejak putusan diucapkan.
3) Apabila
pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Terkait
dengan berlakunya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, pengadilan wajib
membuka atau memberikan akses kepada masyarakat untuk mengetahui informasi dan
data mengenai putusan serta biaya perkara di pengadilan.
Ayat
(3)
Dalam
hal salinan putusan tidak disampaikan, ketua pengadilan yang bersangkutan
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Ketua Mahkamah
Agung.
Ketentuan Pasal 52 ayat (1) diubah dan diantara ayat (1) dan
ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 52 berbunyi
sebagai berikut:
1)
Ketua
pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim. (1a)Ketua
Pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan perilaku panitera,
sekretaris, dan juru sita di daerah hukumnya.
2)
Selain tugas
melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), ketua
pengadilan tinggi tata usaha negara di daerah hukumnya melakukan pengawasan
terhadap jalannya peradilan di tingkat pengadilan tata usaha negara dan menjaga
agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
3)
Dalam
melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) ketua
pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan.
4)
Pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 53
1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
2)
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam
gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundangundangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau
badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata
Usaha Negara. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya hanya orang atau badan hukum
perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan
menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam
bentuk tertulis karena gugatan itu akan menjadi pegangan pengadilan dan para
pihak selama pemeriksaan. Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat
mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada Panitera Pengadilan yang akan
membantu merumuskan gugatannya dalam bentuk tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan
perdata, maka apa yang dapat dituntut di muka Pengadilan Tata Usaha Negara
terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar Keputusan
Tata Usaha Negara yang telah merugikan kepentingan penggugat itu dinyatakan
batal atau tidak sah.
Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya
berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam sengketa kepegawaian saja dibolehkan
adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Ayat
(2)
Huruf
b
Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik”
adalah meliputi asas:
·
kepastian hukum;
·
tertib penyelenggaraan negara;
·
keterbukaan;
·
proporsionalitas;
·
profesionalitas;
·
akuntabilitas,
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Angka 36
PERUBAHAN 2
Di antara Pasal 107 dan
Pasal 108 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 107A yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 107 A
1) Dalam
memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan
putusan yang dibuatnya.
2) Penetapan
dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum
hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Dalam
membuat penetapan dan putusan, hakim harus bersandar pada keadilan hukum dan
norma yang ada dan berlaku di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, seorang
hakim tidak dibenarkan untuk membuat penetapan atau putusan yang didasarkan
oleh adanya kepentingan dan atau keuntungan pribadi.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 116
1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan,
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian
setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya,
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut.
4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa
dan/atau sanksi administratif.
5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera
sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum
tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang
dibubuhi catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Tenggang waktu 14 (empat belas) hari
dihitung sejak saat putusan Pengadilan telah memperoleh
Ayat
(4)
Yang dimaksud dengan “pejabat yang bersangkutan dikenakan uang
paksa” dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang
yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar
putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan penggugat.
PERUBAHAN 2
Ketentuan
Pasal 116 diubah, sehingga Pasal 116 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 116
1) Salinan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas
perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
2)
Apabila setelah 60 (enam puluh) hari
kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
3)
Dalam hal tergugat ditetapkan harus
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan
huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban
tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
4)
Dalam hal tergugat tidak bersedia
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran
sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
5)
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak
setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
6)
Di samping diumumkan pada media massa
cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus
mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggiuntuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan,
dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
7) Ketentuan
mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
PENJELASAN :
Ayat
(1)
Meskipun
putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang
berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan panitera
bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14
(empat belas) hari dihitung sejak saat putusan pengadilan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa” dalam
ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan
oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat memutuskan
mengabulkan gugatan penggugat.
Ayat
(6)
Presiden
sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan berkewajiban untuk melakukan pembinaan
terhadap aparatur pemerintah yang tidak menjalankan fungsi pemerintahan dengan
baik.
PERUBAHAN 1
Ketentuan Pasal 118 dihapus.
PERUBAHAN 2
Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga Pasal 135 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 135
1) Untuk
dapat diangkat sebagai hakim ad
hoc, seseorang harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf d, huruf e, dan
huruf h.
2)
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi hakim ad
hoc.
3) Tata
cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan
perundang-undangan
PERUBAHAN 1
Di antara Pasal 143
dan Bab VII Ketentuan Penutup disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 143A, yang
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 143A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku peraturan
perundang-undangan pelaksanaan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
PERUBAHAN 2
Di antara Pasal 144 dan
Aturan Tambahan ditambah 4 (empat) pasal yakni Pasal 144A, Pasal 144B, Pasal
144C, dan Pasal 144D yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 144A
1) Dalam
menjalankan tugas peradilan, peradilan tata usaha negara dapat menarik biaya
perkara.
2)
Penarikan biaya perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.
3) Biaya
perkara sebagaimana pada ayat (1) meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses
penyelesaian perkara.
4)
Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), merupakan penerimaan negara bukan pajak yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5)
Biaya proses penyelesaian perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada pihak atau para pihak yang
berperkara yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
6) Pengelolaan
dan pertanggungjawaban atas biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 144B
1) Setiap
pejabat peradilan dilarang menarik biaya selain biaya perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 144A ayat (3).
2) Pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal
38B.
Pasal 144C
1) Setiap
orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
2)
Negara menanggung biaya perkara bagi
pencari keadilan yang tidak mampu.
3) Pihak
yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melampirkan surat
keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan.
PENJELASAN :
Ayat
(3)
Yang
dimaksud dengan ”kelurahan” dalam ketentuan ini termasuk desa, banjar, nagari
dan gampong.
Pasal 144D
1) Pada
setiap pengadilan tata usaha negara dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari
keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
2)
Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai
putusan terhadap perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
3) Bantuan
hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
PENJELASAN :
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan bantuan hukum yang diberikan “secara cuma-cuma” adalah bantuan
hukum yang diberikan sampai pada pelaksanaan eksekusi putusan.
PERUBAHAN 1
Penjelasan Umum
yang menyebut "Pemerintah" dan "Departemen Kehakiman"
diganti menjadi "Ketua Mahkamah Agung."
PENJELASAN UMUM PERUBAHAN 1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah membawa perubahan penting terhadap
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya
pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan di bidang kekuasaan
kehakiman.
Pembentukan atau perubahan perundang-undangan
tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di
bidang kekuasaan kehakiman yang telah dilakukan adalah dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.
Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah
pula Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu undang-undang yang mengatur
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan
perubahan. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai
peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu
urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung.
Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan
yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut :
1. syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan
peradilan Tata Usaha Negara;
2. batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim;
3. pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
4. pengaturan pengawasan terhadap hakim;
5. penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak
ketiga dalam suatu sengketa;
6. adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk
menyesuaikan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
PENJELASAN
UMUM PERUBAHAN 2
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tersebut telah membawa perubahan penting terhadap
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya
pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan di bidang kekuasaan
kehakiman.
Pembentukan atau perubahan
perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Perubahan kedua yag dilakukan atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara meletakkan
dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, baik
menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi,
administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Perubahan penting lainnya atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara antara lain sebagai berikut:
1. penguatan
pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun
pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim;
2.
memperketat persyaratan pengangkatan
hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi hakim
yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui
proses atau lulus pendidikan hakim;
3.
pengaturan mengenai pengadilan khusus dan
hakim ad hoc.
4.
pengaturan mekanisme dan tata cara
pengangkatan dan pemberhentian hakim;
5.
kesejahteraan hakim;
6.
transparansi putusan dan limitasi
pemberian salinan putusan;
7.
transparansi biaya perkara serta
pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara;
8.
bantuan hukum; dan
9. Majelis
Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk mewujudkan
penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih
serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu
(integrated justice system), terlebih
pengadilan tata usaha negara secara konstitusional merupakan salah satu badan
peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perkara tata usaha negara.
Comments
Post a Comment